Minggu, 20 Desember 2009

SAATNYA MENJUAL TANPA MERUSAK KHUSUSNYA DI HUTAN WONOGIRI






Saatnya Menjual Tanpa Merusak

Di Indonesia, eksploitasi hutan hujan tropika secara gencar dimulai setelah terbitnya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, serta Peraturan Pemerintah Nomer 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

Penebangan hutan hujan tropika (HHT) secara masif dan serentak di berbagai wilayah tentu pada awalnya tidak ditujukan untuk menghancurkan sumberdaya hutan di bumi tercinta ini. Berbagai pihak, termasuk para teknokrat hutan (sering menyebut dirinya sebagai rimbawan) jebolan berbagai universitas kehutanan ternama negeri ini, awalnya begitu haqul-yakin bahwa penebangan skala besar ini tidak berdampak pada kehancuran hutan Indonesia. Hal ini nampak jelas dari berbagai tema atau kesimpulan seminar-seminar kehutanan yang begitu marak di tahun 70-an, demikian pula pidato pejabat-pejabat kehutanan yang selalu menyebut kata ‘lestari’ (sustainable). Bahkan tingginya ke ‘pd’ (‘percaya-diri’)-an ini tercermin pula dari nama berbagai unit usaha kehutanan dan HPH yang juga banyak mengobral kata ‘lestari’.



Namun kenyataanya kini, berbagai jargon kelestarian itu, ternyata kosong belaka. Kata lestari ternyata hanya ditempatkan sebagai aksesoris (hiasan) dan tidak menjadi muara dari setiap kegiatan eksploitasi hutan.

Sistem HPH yang diharapkan sebagai penjaga gawang kelestarian hutan Indonesia ternyata tidak lebih sebagai penjual hutan dalam arti yang sebenar-benarnya. Yang disayangkan, HPH yang telah terbukti merusak hutan, banyak yang hanya cukup ‘menebus’ kesalahannya dengan dicabutnya SK HPH. Ini jelas bukan sebuah petaka, bahkan mereka justru terbebas dari tanggung jawab memperbaiki kondisi hutan yang telah dihancurkan. Kemudian modal yang sudah dihisap dari hutan dapat diinvestasikan ke usaha lain. Sebagaimana namanya ‘Hak Pengusahaan Hutan’, mereka seakan memang hanya menerima ‘hak’ untuk menjual hutan, tanpa kewajiban untuk melestarikannya.



Pertanyaannya, dalam kondisi hutan yang carut marut ini, apakah konsep menjual hutan lama ini masih layak dipertahankan? Apakah sektor kehutanan masih dituntut untuk mengisi pundi-pundi negara dengan cara menghancurkan hutan yang telah berada diambang kepunahan ini?


Konsep tebang pilih di hutan alam

Dalam Ilmu Kehutanan, konsep tebang pilih (selective logging)–sebuah mahzab silvikultur (ilmu budidaya hutan) polisiklik–adalah menebang riap/laju pertumbuhan (growth, increment) ekosistem hutan, sehingga keberadaan hutan sebagai faktor produksi bersifat tetap. Ibarat ekosistem hutan adalah sebuah pabrik kayu, maka pepohonan hutan adalah pabriknya. Apabila sebuah HPH mendapat konsesi hutan seluas 100.000 ha, kemudian rata-rata riap (pertumbuhan) ekosistem hutan adalah sebesar 1 m3/ha, maka jatah rata-rata tebangan HPH per tahun (annual allowable cut) sebesar 100.000 m3. Ribuan m3 kayu karenanya dapat diambil, tanpa harus menghancurkan ekosistem hutan sebagai pabrik kayu. Apabila HPH mendapatkan konsesi pengusahaan hutan selama 20 tahun, maka pada akhir tahun ke 20 masa konsesi, HPH harus mengembalikan hutan tersebut kepada negara dalam kondisi baik. Prinsip inilah yang dalam ilmu kehutanan dikenal sebagai prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle).

Sebutan Hutan Hujan Tropika (HHT) pertama diperkenalkan oleh A.F.W. Schimper (seorang ahli botani kebangsaan Jerman) pada tahun 1898 dalam bukunya yang pada tahun 1903 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul ‘Plant geography upon an ecological basis’. Schimper menggunakan istilah trophise Regenwalt yang kemudian dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai tropical rain forests, yang berarti hutan yang selalu basah, tidak pernah, jarang atau hanya secara musiman mengalami kekurangan air.



Di dunia ini ada tiga kelompok besar HHT, yaitu HHT blok Amerika (American/Neotropical rain forest), HHT Afrika (African rain forest) dan HHT Indo-Malaya (Indo Malayan/Eastern/Malesia rain forest). HHT blok Amerika terletak di Amerika Latin (Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kepulauan Karibea) serta terpusat di lembah sungai Amazon dan Orinoko. Blok HHT terbesar yang luasnya sekitar tiga perlima HHT bumi ini sebagian besar berada di Brazil yang sekaligus merupakan negara pemilik hutan terluas di dunia. Blok Kedua adalah HHT Afrika yang proporsinya kurang dari seperlima HHT bumi dan berada di Afrika Tengah serta terkonsentrasi di lembah Kongo/Zaire. Sedangkan HHT Indo-Malaya berada di kawasan Asia Pasifik, terpusat di Indonesia dan Malaysia.


Dominasi famili Dipterocarpaceae di HHT Indo-Malaya membuat HHT ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan HHT Amerika dan Afrika. HHT Indo-Malaya juga paling ideal untuk dikelola secara lestari. Sekitar lima hingga sepuluh tahun sekali, Famili Dipterocarpaceae mengalami pembungaan dan pembuahan besar-besaran, sehingga lantai hutan dipadati oleh hamparan anakan pohon yang menjamin kelestariannya. HHT Indo-Malaya juga memiliki kerapatan dan kekayaan jenis komersial tertinggi di dunia, sehingga membuat bisnis penebangan hutan (logging) lebih ekonomis dan menguntungkan dibandingkan di Amerika Selatan dan Afrika. Kondisi hutan seperti inilah yang mendukung Indonesia hingga pernah dijuluki sebagai ‘macan kayu’ Asia.


Prinsip dasar silvikultur tebang pilih sebetulnya adalah menghindarkan ke-mubazir-an alam. Hutan alam betapapun bagusnya, dieksploitasi atau tidak, secara alami tetap mengalami ‘kerusakan’. Beberapa pohon akan tumbang, baik oleh bencana alam seperti sambaran petir, badai, tanah longsor atau mati secara alami karena umur yang terlalu tua (over-maturity). Tumbangnya beberapa pohon akan membuka tajuk hutan, sehingga cahaya matahari bisa menerobos lantai hutan yang kemudian merangsang pertumbuhan anakan pohon dan merangsang hadirnya tegakan muda. Dengan demikian hutan alam yang tidak terganggu sekalipun mengalami dinamika perubahan dan terdiri dari berbagai mosaik tingkat pertumbuhan, dimana tingkat kekasaran mosaiknya ditentukan oleh frekuensi dan intensitas gangguan alaminya.


Walau tanpa perlakuan khusus, hutan tropis akan mampu menyembuhkan dirinya dari berbagai dampak pembalakan hutan, asalkan hutan bekas pembalakan (logged over area) ini harus dijaga dari berbagai kerusakan. Diantaranya adalah, tebang cuci mangkok (relogging), atau perambahan kawasan hutan oleh masyarakat yang datang setelah jalan-jalan hutan terbuka. Pengelolaan hutan tropis sebenarnya tidak memerlukan teknologi canggih dan rumit, curah hujan yang tinggi dan tanah hutan yang masih subur, akan mendukung terjadinya suksesi alam dari hutan-hutan sekunder secara cepat, asalkan hutan tersebut tidak terganggu atau sengaja untuk dirusak.



Konsep tebang pilih ditujukan untuk mengurangi ke-mubazir-an alam dengan mengurangi tegakan tua, kemudian pada saat yang sama merangsang tumbuhnya tegakan muda. Hutan tropis juga dikenal memiliki daya recovery (pemulihan) yang tinggi terhadap gangguan akibat pembalakan hutan. Jelaslah bahwa konsep tebang pilih sebetulnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk merusak, justru sebaliknya sebagai upaya meningkatkan produktifitas hutan.


Menjual dengan merusak


Sejarah mencatat konsep silvikultur tebang pilih sebagaimana diuraikan diatas tidak diterapkan secara murni dan konsekuen di lapangan, dampaknya adalah kehancuran hutan. Dari sekitar 570 HPH yang pernah ada, tidak ada satupun yang terbukti mampu mengelola hutannya secara lestari dengan sistem tebang pilih. Bahkan bukan hanya HPH yang dimiliki oleh perusahaan swasta atau BUMN kehutanan, HPH yang dikelola oleh perguruan tinggi kehutanan-pun hancur juga, bahkan hutan latihan atau hutan penelitian yang dikelola pemerintah yang seharusnya menjadi contoh juga mengalami nasip serupa.


Kenapa semuanya itu terjadi? Jawabnya sederhana, karena sebagian besar pihak yang terlibat dalam eksploitasi hutan, baik swasta, BUMN maupun pemerintah hanya berniat menjadikan hutan sebagai mesin uang. Niat ini sejak awal tersirat dari Peraturan Pemerintah/PP Nomer 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP ini menyebutkan bahwa negara memandang hutan sebagai suatu potensi kekayaan alam yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal. Kata ‘segera’ dan ‘maksimal’ yang tercantum dalam konsideran PP tersebut menunjukan bahwa negara lebih memandang hutan sebagai sesuatu yang perlu segera dijual, dibandingkan sebagai sumberdaya yang perlu dikelola secara cermat. Karena itu, di saat hutan masih melimpah, kesuksesan HPH umumnya hanya dilihat dari berapa besar volume kayu yang bisa ditambang dari hutan, dan bukan keberhasilannya mengamankan hutan untuk tebangan rotasi berikutnya.


Karena itu, ‘logging’ yang dalam konsep pengelolaan hutan secara lestari adalah sebuah upaya untuk mengendalikan ke-mubazir-an alam tidak lebih hanya diartikan sebagai proses penambangan kayu tanpa kendali. Kegiatan silvikultur yang semula didisain menjadi ujung tombak pelaksanaan logging, dalam praktiknya hanya digunakan sebagai sekedar hiasan. Sarjana-sarjana kehutanan profesional yang harusnya menjadi panglima pengelolaan kelestarian hutan, banyak yang akhirnya cukup digantikan oleh operator chain-saw yang ukuran kinerjanya adalah besarnya volume kayu yang dapat ditambang dari hutan dan bukan kelestarian ekosistem sumberdaya hutan itu sendiri.



Konsep menjual hutan macam inilah yang kemudian membawa negeri ini menjadi penghasil log terbesar di dunia, yang membuat sebagian besar rimbawan, politisi dan aparat negeri ini ketiban rejeki nomplok (windfall profit). Produksi log nasional menembus angka 100 juta m3 per tahun. Devisa kayu yang diperoleh pada tahun 1980-an pernah menduduki posisi kedua setelah minyak. Pada tahun 1990-an, perolehan devisa kayu adalah kedua setelah tekstil.


Namun konsep menjual hutan macam ini jelas tak akan bertahan lama. Gilang-gemilang itu seakan hanya terjadi dalam sekejap. HPH dan industri kehutanan secara perlahan tetapi pasti berguguran. Pada tahun 1990 masih tercatat 567 HPH yang menguasai 60 juta hektar, sepuluh tahun kemudian hanya tersisa 270 HPH dengan luas 28 juta hektar. Kemudian pada tahun 2004, jumlahnya merosot lagi menjadi 225 HPH. Semakin rusaknya hutan, dan tingginya ancaman kerusakan hutan dari berbagai pihak, telah membuat sejumlah besar HPH berguguran, sekitar 25 – 40 HPH gulung tikar setiap tahunnya.


Semakin terakumulasinya konflik kepentingan atas sumberdaya hutan telah membuat laju dehutanisasi (deforestation, penggundulan hutan) meningkat tajam. Pada periode 1985-1997 sebesar 1,9 juta ha/tahun, atau hutan alam seluas enam lapangan sepak bola hancur setiap menitnya. Sementara pada periode 1997-2000 (menurut Badan Planologi, Departemen Kehutanan, 2003) justru meroket menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Sebuah laju kerusakan hutan alam terhebat di dunia!



Saat ini, 72 persen hutan alam Indonesia yang sering disebut oleh para pecinta lingkungan sebagai hutan surgawi (paradise forest) telah terdegradasi, sedangkan 40 persen hutan Indonesia telah hancur dan sebagian besar telah dikonversi untuk berbagai tata-guna lahan non-hutan. Hutan alam Indonesia yang masih tersisa diperkirakan hanya 20 persen saja (Greenpeace, 2006).


Kini sebagian besar penebangan kayu dilakukan secara ilegal oleh para cukong kebal hukum. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar keuntungan tersebut justru dinikmati oleh China dan Malaysia. Para cukong itu begitu mahir menjual hutan Kalimantan dan Papua secara diam-diam ke China dan Malaysia, kemudian negara tersebut mengekspornya ke Jepang, Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kondisi macam ini ditengarai menimbulkan kerugian miliaran dollar AS setiap tahunnya. Namun apa mau dikata, gerakan penghancuran lingkungan yang begitu masif dan teroganisir ini tidak bisa dihentikan oleh negara.

Menjual tanpa merusak

Mengambil pelajaran dari kerusakan hutan nasional yang terjadi, bersyukurlah bahwa masyarakat Buton dimana penulis bekerja saat ini, masih memiliki Hutan Lambusango (65.000 ha) yang sampai kini belum tersentuh oleh konsep menjual hutan dengan cara merusak. Tidak ada ceritanya menjual kayu hutan alam itu menguntungkan. Apabila dilakukan audit sumberdaya, keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu pasti tidak seimbang dengan biaya ekologi dan sosial yang ditimbulkan akibat kerusakan ekosistem hutan.


Setiap hutan alam yang masih utuh memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat disekitarnya. Dengan semakin langkanya hutan alam, maka jasa lingkungan hutan ini memiliki nilai kelangkaan yang semakin tinggi pula. Sebagai ilustrasi dari Buton, saat ini, seluruh jasa lingkungan Hutan Lambusango sudah mulai dikenal oleh pemangku kepentingannya dan telah mulai dijual dengan tanpa merusak.


Masyarakat Lambusango kini begitu sadar apabila sumberdaya air Hutan Lambusango selain digunakan sebagai sumber air minum dan irigasi, selama ini juga telah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang dinikmati oleh penduduk di Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau serta sebagian wilayah Kabupaten Muna. Ada lebih dari 50.000 Kepala Keluarga (KK) yang kebutuhan energinya disokong oleh keberadaan Hutan Lambusango. Masyarakat juga sadar bahwa Hutan Lambusango yang terjaga dengan baik telah mampu memelihara kejernihan sungai, menjaga kualitas dan kuantitas air, serta memelihara kelestarian ekosistem perairan laut disekitar Pulau Buton. Ada sekitar 45.000 KK, yang terdiri dari nelayan, petani rumput laut dan peternak kerang mutiara (siput mabe) yang merasa disokong mata pencahariannya oleh keberadaan Hutan Lambusango.


Masyarakat Lambusango juga menyadari apabila keindahan dan keragaman hayati Hutan Lambusango telah membuat hutan ini menjadi laboratorium konservasi biologi internasional. Setiap tahunnya sekitar 100 - 200 orang wisatawan asing datang dari berbagai penjuru dunia ke Hutan Lambusango untuk menikmati keindahan dan meneliti keragaman hayatinya. Kegiatan ekowisata (wisata ilmiah dan budaya) yang difasilitasi oleh Operation Wallacea Ltd ini mampu memberikan mata pencaharian berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi masyarakat setempat, sedikitnya ada 60 KK yang terlibat dalam kegiatan ini.


Inilah konsep menjual tanpa merusak ala masyarakat Lambusango, Buton. Dengan konsep inilah Hutan Lambusango tidak pernah tersentuh perusak hutan ala HPH, sehingga masih bertahan sampai saat ini.


Menjual sekaligus membangun

Belajar dari sejarah pengelolaan hutan jati di Jawa. Pada awalnya, jati yang tumbuh di Pulau Jawa adalah jati alam, bukan jati tanaman. Belanda, saat itu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kongsi dagang Belanda, sering disebut ‘Kompeni Belanda’), adalah entitas bisnis pertama yang menebang jati alam di Pulau Jawa. Namun konglomerat Belanda itu bukan sekedar menebang, melainkan sekaligus membangun pengelolaan hutan Jati alam di Jawa secara lestari.


Sebelum menebang, mereka mendalami kultur jati dengan baik, mereka menyiapkan berbagai model permudaan jati, melakukan percobaan penjarangan jati, penterasan dan sebagainya. Kemudian sambil menebang, mereka juga secara perlahan membangun baik dari sisi tegakan maupun administrasi pengelolaannya. Administrasi itu penting dalam pengelolaan hutan, tanpa administrasi yang baik tidak mungkin hutan dapat dikelola dengan lestari. Pengukuran hutan harus dilakukan dengan cermat dengan tingkat ketelitian tinggi, bukan hanya sekedar ada data, apalagi data tersebut dihasilkan dari survei yang penuh rekayasa. Menyadari hal itu, Belanda secara menerus membangun administrasi pengelolaan tegakan jati, mulai dari penebangan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, penterasan, sedemikian rupa sehingga jati alam yang ditebang dapat tumbuh menjadi hutan jati tanaman dengan kualitas dan produktifitas yang lebih tinggi dari jati alam.


Sambil mengeksploitasi hutan jati alam, secara perlahan Belanda juga menata kelembagaan pengelolaan hutan jati. Belanda membangun kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang batasnya mengikuti batas alam (daerah aliran sungai). Kemudian membagi menjadi bagian-bagian kesatuan hutan, demikian seterusnya hingga sampai ke petak dan anak petak. Setiap jengkal tanaman jati telah begitu jelas siapa yang bertanggung jawab atas penanaman, pemeliharaan dan penebangan, termasuk pengamanan hutannya, baik dari pencurian maupun kebakaran. Semua begitu rapi, teratur dan mudah dipahami, bahkan oleh seorang mandor yang hanya tamat sekolah rakyat. Dengan administrasi yang rapi, tidak ada satupun pohon jati yang tumbang tanpa perhitungan yang matang serta adanya jaminan kelestariannya. Di tangan Belanda prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle) benar-benar dapat ditegakan, dan produktifitas hutan jati-pun berhasil dipertahankan selama beberapa abad.


Inilah konsep menjual dengan membangun ala Belanda. Kita perlu bercermin dengan Belanda, VOC sebagai konglomerat asing, representasi dari sebuah rejim kapitalis dan kolonialis –yang kita pandang sebagai penguasa licik dan serakah—saja, begitu cermat dan penuh tanggung jawab dalam memperlakukan hutan jati di Jawa. Mereka bukan sekedar meraup keuntungan, tetapi juga bekerja keras untuk membangun. Bahkan rejim kolonial Belanda selama beberapa abad mencengkeram bumi nusantara juga hampir tidak menyentuh hutan hujan tropika di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Sebaliknya di tangan Bangsa Indonesia, hanya dalam hitungan puluhan tahun semuanya ludes! Begitu luar biasa kekayaan negeri ini yang telah terjual entah untuk kepentingan siapa.
Inilah saatnya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Dengan alasan apapun, konsep menjual hutan dengan merusak harus segera dihentikan. Marilah kita membangun semangat menjual sekaligus membangun, atau setidaknya menjual tanpa merusak. Berhentilah berebut untuk sekedar menghabiskan hutan yang masih tersisa!





Posted in Uncategorized

Tidak ada komentar:

Posting Komentar