Minggu, 20 Desember 2009

Mencegah Bencana Lingkungan Buatan Manusia






Mencegah Bencana Lingkungan Buatan Manusia


Sifat dasar orangtua, apapun posisi sosialnya, adalah mencintai dan membangun masa depan anak-anaknya. Kesuksesan mereka tidak ditentukan oleh kekayaan materiil yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya, namun lebih ditentukan oleh keberhasilannya membangun kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Orangtua akan bahagia, apabila berhasil mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kehidupan yang lebih sejahtera. Sebaliknya, betapa nestapanya orangtua, apabila melihat anak-cucu mereka hidup sengsara, karena kondisi alam yang tidak lagi bersahabat.
Tuhan telah memilih manusia sebagai khalifatullah (wakil Allah) yang ditugasi untuk mengurus bumi. Sebagai khalifatullah, manusia bertanggungjawab untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian lingkungan hidupnya, termasuk eksistensi dan keharmonisan mahluk lain di luar dirinya.
Orangtua secara perlahan akan surut dan tugas hidupnya sebagai khalifatullah akan dilanjutkan oleh keturunannya. Sesuai dengan fitrahnya, seluruh makhluk hidup berkepentingan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas jenisnya, bahkan di dunia tumbuhan dan satwapun, Allah telah menciptakan berbagai perangkat dan mekanisme agar mereka mampu, bukan saja mempertahankan jenisnya, namun juga melahirkan generasi yang lebih baik.
Setiap orangtua yang baik akan begitu tulus mengorbankan jiwa dan raganya demi kesejahteraan keturunannya. Bagi orangtua, anak adalah sebuah masa depan, darinya orangtua memperoleh oasis kehidupan, darinya orangtua memperoleh energi hidup dari sebuah sumur yang tanpa dasar. Mereka semua berjuang demi kesejahteraan keturunannya.

Mendefinisikan Kesesejahteraan

‘Kesejahteraan’, atau ‘sejahtera’ adalah sebuah indikator (ukuran) kenikmatan hidup yang bersifat abstrak dan relatif. Indikator tersebut berbeda dari orang ke orang, karena sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi dan status sosial seseorang. Namun secara umum yang disebut ‘sejahtera’ adalah sebuah totalitas hidup yang berkualitas, didalamnya tidak saja terkandung dimensi ekonomi, namun juga religius, bukan saja jasmani melainkan juga rohani, bukan saja materiil melainkan juga immateriil. Dan yang paling penting dan tidak bisa diingkari dari suatu kondisi yang dapat dikatakan ‘sejahtera’ adalah terjaminnya kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan!

Sebagai ilustrasi, sebuah keluarga yang kaya harta, tidak mungkin merasa sejahtera bila lingkungannya setiap tahun dilanda banjir. Di musim kemarau, udara kering dan panas luar biasa, sedangkan listrik untuk menghidupkan Air Condition (AC) di rumahnya lebih banyak mati, karena sumber air pembangkit listrik debitnya mengecil oleh semakin gundulnya hutan. Hatinya tidak tenang karena takut dilanda bencana, tanah longsor, banjir, serangan hama dan sebagainya. Sebaliknya, keluarga petani yang miskin harta, mungkin dapat disebut lebih sejahtera, apabila dinaungi oleh hutan dan lingkungan yang indah-permai. Sawahnya subur dan hasil kebunnya melimpah. Mereka tidak perlu AC karena udara disekitar rumahnya masih segar dan nyaman. Sumber air selalu melimpah, bahkan dengan sedikit sentuhan teknologi, mereka bisa membuat listrik sendiri (energi mikro-hidro, sehingga tidak perlu kawatir terhadap kenaikan Tarif Dasar Listrik/TDL). Perasaan mereka tenang dan tenteram, karena alam masih sangat bersahabat.

Memperjuangkan Kesejahteraan

Orang Buton dikenal sebagai suku perantau, pelaut-pelaut Buton telah menyebar keseluruh persada nusantara sejak berabad-abad lalu. Namun, sebagaimana umumnya orang Buton, setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya juga kembali ke tanah.

Orangtua Buton berprinsip, anak-anaknya boleh merantau, tetapi jangan lupa dengan tanah tumpah darahnya. Ikatan tanah leluhur ini biasanya diwujudkan dengan membangun sebuah rumah di bumi moyangnya. ‘Merantaulah kemana saja nak, … tetapi jangan lupa, bangunlah rumahmu di tanah Buton, kau boleh punya beberapa rumah ditanah seberang, tetapi bangunlah barang satu rumah dibumimu sendiri’ begitu kira-kira petuah orangtua Buton kepada anak-anaknya yang ada di rantau.

Sebagaimana umumnya orangtua, seluruh orangtua menginginkan anak-anak mereka dapat hidup sejahtera di Pulau Buton. Katakanlah, walau anak-anak mereka tidak akan hidup di Buton, tetapi pada saat pulang kampung, mereka masih dapat menikmati kenyamanan dan keindahan Buton seperti yang dulu. Apalagi kalau hari tua anak-anaknya akan tinggal di Buton, maka orangtua berharap bahwa kenyamanan hidup yang mereka rasakan selama ini akan masih dinikmati oleh anak-anak, bahkan sampai cucu, dan cicit mereka kelak.

Dengan semakin tingginya tekanan penduduk, tidakbisa dipungkiri bahwa kondisi lingkungan hidup di Pulau Buton secara perlahan terus berubah. Contoh yang paling kasat mata adalah rusaknya Taman Wisata Alam (TWA) Tirta Rimba (488 Ha). Taman wisata ini adalah satu-satunya tempat wisata berbasis hutan alam yang ada di Kota Bau-Bau. Kerimbunan pohon di wilayah ini memberikan kesejukan yang luar biasa ditengah panasnya Kota Bau-Bau. Sampai tahun 1999, TWA yang sebagian lahannya berbukit dan berlereng terjal ini merupakan tempat yang ramai dikunjungi. Pengunjung bisa menikmati keindahan air jatuh (air terjun) selama ber-jam-jam, sambil makan jagung rebus. Namun seiring dengan kerusakan hutan oleh kegiatan pertanian intensif, kelimpahan air secara perlahan terus berkurang, hingga kini hampir tidak berbekas, selain bongkahan batu yang terkadang dialiri air. Keperkasaan hutan yang dulu pernah hadir melindungi lahan-lahan berbatu dengan kelerengan terjal selama ratusan, bahkan ribuhan tahun dan menyajikan keindahan yang dapat dinikmati oleh puluhan bahkan mungkin ratusan generasi sebelumnya kini telah sirna, menyisakan bongkahan batu-batu kapur yang gersang dan panas!

Kerusakan TWA Tirta Rimba harus menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang merasa menjadi pemangku kepentingan Hutan Lambusango. Kerusakan dengan intensitas yang sama tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Hutan Lambusango, apabila para pemangku kepentingan Hutan Lambusango tidak segera mengantisipasi semakin tingginya kerusakan hutan.

Seorang kakek yang tinggal di suatu desa disekitar Hutan Lambusango dengan berurai air mata menceritakan bagaimana tingkat kesejahteraan hidup mereka di masa tempo doeloe dibandingkan dengan jaman anak-anak dan cucu-cicitnya kini.

‘Dulu pada waktu hutan di wilayah kami masih rimbun, sumber-sumber air disekitar sini sangat berlimpah. Di musim kemarau air sungai ini tingginya sepaha saya, namun kini tinggal semata kaki. Di musim hujanpun air sungai tetap jernih dan tidak pernah terjadi banjir. Kini setelah hutan di hulu sungai banyak ditebang, kami sering kekuarangan air, bahkan kami pernah dilanda banjir pada tahun 2002’. Si Kakek-pun, kemudian melanjutkan ceritanya, ‘Hutan disini ditebang oleh pengusaha dari seberang, katanya mau dijadikan perkebunan kakao, tetapi setelah kayu-kayu yang besar-besar ditebang, pengusaha itupun raib, dan tidak sebatang kakao-pun pernah ditanam didaerah ini’.

Bisa dipahami apabila para pemodal perusak hutan menutup mata terhadap kerusakan hutan, mengingat mereka umumnya adalah manusia-manusia berdaya yang secara ekonomi memiliki alternatif. Misalnya, apabila lingkungan hidup di Buton tidak lagi nyaman, mereka dengan mudah dapat pindah, apalagi kalau perusak hutan itu berasal dari seberang (luar Buton). Tidak demikian halnya bagi masyarakat yang kurang berdaya yang berada di sekitar hutan, mereka harus merasakan kepahitan lingkungan dan kemurkaan alam, walau mereka bisa jadi sama sekali tidak ikut ambil bagian dalam perusakan hutan.

Jaman keemasan Hutan Lambusango mungkin telah lewat, kerimbunan pepohonan yang menjadi sumber kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan bisa jadi sudah dan akan menjadi semakin mahal seiring dengan kesadaran para pemodal yang melihat bahwa kerimbunan hutan merupakan mesin penghasil uang. Hutan Lambusango kini bukan lagi monopoli milik masyarakat yang hidup disekitarnya, yang pengaturannya diatur oleh lembaga adat macam ‘Kaombo’ atau ‘Sasi’ di masa tempo doeloe, melainkan Hutan Lambusango sudah menjadi milik kepentingan yang bisa jadi tidak terkait sama sekali dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Sungguh, kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan lingkungan bagi masyarakat sekitar hutan kini, lebih-lebih di masa depan jelas tidak akan lagi diperoleh lagi secara melimpah ruah dan cuma-cuma sebagaimana tempo doeloe. Untuk memperolehnya masyarakat tidak bisa lagi hanya tinggal diam dan pasrah, mereka harus sadar bahwa hutan merupakan harta yang tidak ternilai bagi kesejahteraan anak-anak dan cucu-cicitnya di kemudian hari. Nilai harta itu tidak akan terbayar dengan hanya mendapatkan pekerjaan sesaat sebagai operator chain-saw atau kuli pengangkut kayu. Kesejahteraan anak-cucu dan cicitnya harus menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar, bahkan harus diperjuangkan!

Hutan Lambusango, sebagai satu-satunya hutan alam dataran rendah yang berada di jantung Pulau Buton, kini sedang dan mungkin terus akan menjadi ajang perebutan mereka yang lebih mementingkan kepentingan saat ini daripada saat nanti, lebih mengutamakan kepentingan generasi sekarang daripada generasi mendatang, lebih melihat kebutuhan orangtua dan keluarga saat ini, daripada kebutuhan anak, cucu dan cicitnya nanti.

Mencegah ‘Bencana Lingkungan Buatan Manusia’

Bisa dibayangkan betapa kering dan gersangnya Pulau Buton tanpa kehadiran Hutan Lambusango. Kerimbunan Hutan Lambusango yang menutupi pungung-pungung bukit dan lembah-lembah sungai yang umumnya terjal ini berperan sebagai pengendali erosi, sedimentasi dan banjir. Kerusakan hutan akan berdampak pada kehancuran fungsi resapan air yang bukan saja berdampak pada ekosistem daratan melainkan juga berakibat pada rusaknya ekosistem perairan laut sekitar Pulau Buton. Kerusakan hutan akan berdampak pada tingginya sedimentasi perairan. Tingginya sedimentasi perairan laut akan merusak karang dan seluruh ekosistem laut yang ada disekitarnya. Akibatnya bukan hanya hasil bumi yang merosot, melainkan kelimpahan sumberdaya baharipun (terumbu karang, ikan, rumput laut, kerang mabe dsb.) akan hancur seiring dengan kerusakan hutan.

Sayangnya mereka yang sedang terbuai rejeki emas hijau (kayu) dari Hutan Lambusango mungkin belum tahu bahwa nilai kayu sebenarnya hanya memiliki persentase yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan kekayaan Hutan Lambusango secara keseluruhan. Berdasarkan berbagai penelitian tentang nilai ekonomis sumberdaya hutan, diketahui bahwa nilai kayu hanya sebesar 2 persen dari keseluruhan nilai intrinsik sumberdaya hutan.

Sungguh sayang, apabila demi mengambil nilai manfaat yang kecil harus merusak keseluruhan tatanan ekosistem. Walaupun kayu hanya bernilai kecil dibandingkan keseluruhan nilai hutan, namun kayu adalah penopang utama ekosistem hutan. Ekosistem hutan akan hancur, dan seluruh kekayaan yang luar biasa tersebut akan sirna seiring dengan lenyapnya kerimbunan pohon. Ibarat hutan adalah sebuah pabrik rokok, maka tumbuhan berkayu adalah pabriknya. ‘Rokok’ ibaratnya adalah sumberdaya, manfaat atau fungsi hutan yang bisa diambil atau dinikmati. Agar sang pabrik dapat secara menerus memproduksi rokok berkualitas prima, masyarakat pemangku kepentingan Hutan Lambusango harus mengambil rokoknya saja, tanpa merusak pabriknya.

Mereka yang sedang asyik merusak hutan (destructive logging), banyak juga yang mungkin belum tahu (atau bisa jadi pura-pura tidak tahu), bahwa kerimbunan hutan alam di Pulau Buton ini tercipta melalui proses suksesi (pertumbuhan hutan) yang sangat panjang dan memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Tidak benar bahwa hutan alam merupakan sumberdaya yang terbarui (renewable resources), sekali hutan alam rusak hampir dapat dipastikan tidak akan pulih dan terbarukan!

Mungkin merekapun belum banyak tahu, bahwa ekosistem Hutan Lambusango memiliki nilai keragaman hayati endemik yang tinggi dan merupakan salah satu pewakil terbaik dari Zona Wallacea. Mereka bahkan lupa, bahwa Hutan Lambusango menjadi sumber air utama yang mereka minum setiap hari. Mereka mungkin lupa bahwa Hutan Lambusango menjadi sumber pembangkit listrik yang mendukung kenyamanan hidupnya setiap hari. Mereka lupa bahwa Hutan Lambusango memasok udara segar yang mereka hirup setiap detik. Sungguh mereka lupa bahwa merusak Hutan Lambusango berarti menggali lubang bagi masa depan anak-cucunya nanti. Mereka lupa bahwa hutan adalah habitat dari ratusan bahkan mungkin ribuan jenis tumbuhan dan satwa yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka lupa bahwa sebagai khalifatullah manusia berkewajiban untuk menjaga eksistensi, keseimbangan dan keharmonian mahluk lain di luar dirinya!

Sebagai orangtua yang mencintai masa depan kehidupan anaknya, sudah saatnya untuk tidak menjemput rejeki dengan cara merusak hutan. Bagi mereka yang sadar akan pentingnya kelestarian hutan sudah saatnya untuk bergandeng tangan untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan Hutan Lambusango. Hutan memang diciptakan untuk manusia, hutan memang boleh diambil kayunya, dibawah hutan memang ada bahan tambang yang bisa diambil, namun mengingat fungsi hutan bagi kehidupan sebagaimana tergambar di atas, semuanya harus dilakukan dengan penuh perhitungan, secara terukur, terkontrol dan bijaksana.

Merusak Hutan Lambusango berarti merusak habitat Anoa, Andoke dan kawan-kawanya. Merusak hutan berarti menghancurkan ekosistem kehidupan yang terbangun melalui proses yang sangat panjang. Merusak hutan berarti menghancurkan kenyamanan dan menistakan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Merusak hutan adalah menghancurkan kehidupan.

Maraknya bencana banjir, tanah longsor akhir-akhir ini sebagian disebabkan oleh lemahnya perhatian kita semua dalam menjaga kelestarian hutan. Kita sungguh prihatin dengan penderitaan saudara-saudara kita yang sedang ditimpa bencana lingkungan. Namun bencana lingkungan yang selalu terjadi di musim hujan ini sekaligus harus kita manfaatkan untuk berinstropeksi (mawas diri) untuk menghindarkan bencana yang sama menimpa diri kita dan anak-cucu kita. Kita harus menyelamatkan lingkungan yang masih nyaman dan aman ini dari peluang timbulnya bencana yang sama di kemudian hari.

Sebagai manusia bijak, sebagai khalifatullah, manusia harus menghindar dari bencana yang pencegahannya masih dapat dikelola. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna harus dapat menghindar dari bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri, manusia harus dapat belajar dan tidak ingin terantuk batu yang sama untuk kesekian kalinya. Manusia harus dapat mencegah ‘Bencana Lingkungan Buatan Manusia!
Posted in Nasionalisme Lingkungan
DONATION ANDA SANGAT KAMI HARAPKAN
KE REK. BRI NO: 01580109057508 SEHINGGA KONSERVASI DI LAHAN KRITIS DENGAN MENANAM SATU ORANG SATU POHON DAPAT TERLAKSANA DENGAN BAIK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar