Sabtu, 19 Desember 2009






Gerakan Menabung Air Melalui
Pembangunan Sejuta Resapan


‘Dengan intensitas hujan ekstrem yang sering terjadi di Indonesia, penutupan apapun (termasuk hutan) sering tidak mampu menahan terjadinya banjir dan tanah longsor. Diperlukan gerakan masal menabung air melalui pembangunan sejuta resapan yang memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat’

Ada tiga hal yang mempengaruhi tingginya laju kerusakan lahan di Indonesia, pertama adalah energi, kedua adalah resistensi dan ketiga adalah proteksi. Dari segi energi, kerusakan begitu cepat oleh tingginya intensitas hujan, dengan intensitas hujan yang tinggi, maka sebagian besar air hujan yang jatuh hampir tidak dapat diselamatkan, karena sebagian besar akan secara cepat mengalir ke sungai dan kemudian terbuang ke laut. Kondisi ini juga diperparah oleh pendeknya sungai-sungai di Indonesia yang rata-rata hanya sepanjang 250 km, pendeknya sungai juga membatasi penggunaan sumberdaya air untuk berbagai keperluan. Selanjutnya, tanah yang memiliki resistensi yang rendah (erodibilitas tingi), sehingga laju erosi umumnya sangat tinggi, demikian pula laju sedimentasi.

Kondisi ini semakin lengkap bila dilihat oleh lemahnya proteksi, tingginya kepadatan penduduk, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan yang begitu cepat, yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan resiliensi (daya lenting) ekosistem alam untuk mencapai keseimbangan baru.

Tingginya Intensitas Hujan

Curah hujan harian tertinggi di Indonesia yang pernah tercatat selama ini adalah setebal 702 mm (terjadi di Ambon), curah hujan yang terjadi di Bogor pada tanggal 29, 30 dan 31 Januari 2002, pada saat banjir di Jakarta tercatat setebal 380 mm, sedangkan di Jakarta pada waktu itu curah hujan hingga setebal 420 mm. Curah hujan bulanan rata-rata tahunan (musim hujan dan kemarau) setebal 350 mm. Sedangkan curah hujan bulanan rata-rata di musim hujan adalah setebal 450 mm. Dengan demikian hujan yang terjadi selama tiga hari itu hampir setara dengan hujan yang turun selama satu bulan di musim hujan biasa. Bisa dibayangkan curahan air yang harusnya terdistribusi dalam waktu 30 hari, tercurah sontak selama 3 hari !

Menghadapi kondisi ekstrem semacam ini, apapun penutupan lahannya tidak akan mampu membendung luapan aliran permukaan, karena curahan air benar-benar telah melampaui kapasitas maksimum tanah memegang air (water holding capacity). Dalam kondisi tersebut, penutupan lahan sebaik apapun tidak akan berdaya mengusir datangnya banjir !






Hutan dan Banjir

Berdasarkan berbagai penelitian pada Daerah Aliran Sungai (watershed/catchment area) berukuran kecil (kurang dari 25 km2) menunjukkan bahwa hutan hanya mampu mengendalikan banjir yang ditimbulkan oleh hujan berintensitas rendah sampai sedang (< 100 mm/hari). Perbandingan respon aliran permukaan terhadap hujan, antara wilayah non-hutan (pertanian semusim) dan wilayah yang hutannya masih utuh adalah sebagai berikut: Untuk curah hujan dengan intensitas rendah (Sekitar 15 mm/jam), peningkatan aliran langsung (Qf) dan debit puncak banjir (Qp) dari kawasan non-hutan (dibandingkan hutan, yang masih utuh) adalah sebesar satu setengah hingga dua kali lipat. Untuk intensitas hujan sedang (15-30 mm/jam), Qf dan Qp meningkat sekitar setengahnya, sedangkan untuk intensitas hujan besar (sekitar 75 mm) Qf dan Qp meningkat antara sepersepuluh hingga seperempatnya, sedangkan pada hujan ekstrim Qf dan Qp hanya meningkat kurang dari sepersepuluh debit puncak banjir semula. Mengingat semakin besar intensitas curah hujan, semakin melampaui keterbatasan hutan untuk menahan laju air, sehingga pada saat terjadi hujan yang sangat ekstrim dimungkinkan besarnya banjir adalah sama antara wilayah berhutan dan tidak berhutan.

Dengan demikian dapat dipahami, mengapa suatu DAS yang penutupan hutannya masih baik juga tidak 1uput dari kunjungan banjir. Contohnya DAS Batanghari, pada tahun 1950-an terjadi banjir besar yang diduga sama atau mungkin lebih besar daripada banjir bandang yang terjadi pada tahun 1991. Padahal pada tahun tersebut penutupan hutannya tentu masih cukup baik. Kemudian banjir bandang di Banyumas pada tahnn 1861, sebagaimana yang dilaporkan oleh majalah dua mingguan berbahasa Belanda Java Bode (Overstrooming te Banyumas den 21 tot 23 February, 1861). Di majalah tersebut, antara lain dilaporkan bahwa banjir yang terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1861 dipicu oleh hujan besar yang terjadi secara terus-menerus selama tiga hari. Dari Yogyakarta dilaporkan bahwa antara jam empat pagi hingga malam hari pada tanggal tersebut, terjadi hujan sangat ekstrim hingga mencapai ketebalan sekitar 600 mm, kemudian di sekitar dataran tinggi Dieng antara tanggal 19 hingga 23 Pebruari juga tercatat hujan tidak kurang dari 1.000 mm. Pada saat kejadian banjir, tinggi muka sungai Serayu pada jam lima sore mulai meningkat dengan cepat, kemudian banjir mulai meluap sekitar jam sepuluh malam yang menyebakan penggenangan air hingga 10 meter di wilayah Banyumas.

Wilayah Jawa selatan (termasuk Banjarnegara yang baru mengalami musibah tanah longsor) memang sering dilanda banjir sejak jaman tempo doeloe, hal ini antara lain dapat ditelusuri dari salah satu tembang yang melukiskan adanya ikan kecil (Uceng) yang menempel di bunga pohon kelapa (Manggar) [Wartono Kadri, Kom Prib, 2002].

Apabila proses dehutanisasi meliputi wilayah yang luas (lebih besar 30 persen luas hutan dari DAS) sebagaimana yang terjadi pada peristiwa banjir di wilayah Riau dan Sumatra Barat, Jambi, Riau pada 1991/1992, juga Jember, Manado, Jakarta, Pantai Utara Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat sebagaimana akhir-akhir ini, terbatasnya kapasitas peresapan tanah mengakibatkan kenaikan debit puncak banjir dari sebagian besar Sub DAS yang bermuara pada sungai besar di wilayah hilir, dalam kasus ini deforestasi atau kerusakan penutupan lahan memang menjadi penyebab yang sama dominannya dengan faktor-faktor penyebab banjir lainnya (intensitas hujan dan sebagainya).


Pembangunan Sejuta Resapan

Perlu. diingat, kegiatan restorasi penutupan lahan seperti reboisasi dan penghijauan juga. tidak mampu secara cepat mengendalikan penurunan laju banjir dan sedimentasi di wilayah hilir. Lihat saja kasus di China, untuk mengurangi 30 persen debit puncak banjir dan hasil sedimen dari DAS seluas 100.000 km2, diperlukan waktu selama 20 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya beban sedimen yang mempersempit volume sungai, yang berasal dan proses erosi dari kurun waktu sebelumnya. Karena itu bisa dipahami, kalau besarnya laju sedimen yang terukur di outlet suatu DAS sering tidak berkorelasi dengan berbagai perbaikan ataupun perusakan di wilayah hulu, mengingat besarnya temporary storage sediment yang berada di sekitar pengaliran. Timbunan sedimen ini, bisa terangkut ke hilir dalam waktu beberapa jam, maupun beberapa puluh tahun kemudian, bergantung proses pengendapan yang terjadi maupun aliran pengangkutnya.

Keberhasilan hutanisasi dan penghijauan di wilayah hulu, jelas tidak memberikan dampak secara cepat terhadap penurunan laju sedimentasi di wilayah hilir, sebagaimana anggapan banyak pihak selama ini. Diperlukan jangka waktu setidaknya sepuluh tahun untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan kegiatan tersebut, terhadap penurunan banjir dan sedimentasi, serta pengendalian kekeringan.

Dengan demikian diperlukan gerakan masal menabung air melalui pembangunan sejuta resapan yang memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat, misalnya pembangunan dan atau revitalisasi danau-danau besar, danau-danau kecil (embung), dam penahan, dam pengendali, sumur resapan dan sebagainya selain kegiatan restorasi hutan itu sendiri!

Posted in Nasionalisme Lingkungan
Partisipation and Donation anda kami tunggu untuk Gerakan Menabung Air Melalui
Pembangunan Sejuta Resapan dan sebgainya selain kegiatan restorasi hutan di wonogiri itu sendiri! Rek BRI Wonogiri No:01580109057508

Tidak ada komentar:

Posting Komentar